Menerawang Bidawang dari Pulau Seberang

Menerawang Bidawang dari Pulau Seberang

Februari 5, 2023 0 By Kusfandiari MM Abu Nidhat

Estuman Kusfandiari MM Abu Nidhat

Lagu “Ampar-ampar Pisang” adalah lagu daerah berbahasa Banjar, khas dari Kalimantan Selatan, ciptaan Hamiedan AC. Beliau lahir pada 26 September 1940 di Kandangan, Kalimantan Selatan dan wafat pada 10 Desember 1997 di Jakarta. Lagu “Ampar-ampar Pisang” digubah pada tahun 1960-an, saat beliau berusia 20 tahun.

Selengkapnya sebagai berikut.

Ampar-Ampar Pisang

Hamiedan AC

ampar-ampar pisang (1)

pisangku balum masak (2)

masak sabigi, dihurung bari-bari (3)

masak sabigi, dihurung bari-bari (4)

manggalepak, manggalepok (5)

patah kayu bengkok (6)

bengkok dimakan api (7)

apinya cangkurupan (8)

bengkok dimakan api (9)

apinya cangkurupan (10)

nang mana batis kutung (11)

dikitip bidawang (12)

nang mana batis kutung (13)

dikitip bidawang (14)

Artinya :

ampar : hamparkan, susunlah, aturlah, tatalah

ampar-ampar pisang : hamparkan, hamparkan pisang-pisang ini di bawah terik matahari

pisangku balum masak : pisangku belum masak 

masak sabigi : masak satu biji

dihurung : dikerubuti

bari-bari : tungau (Jawa : lemut, mrutu)

masak sabigi dihurung bari-bari : (baru) masak satu biji (sudah) dikerubuti mrutu

manggalepak, manggalepok : tidak ada artinya, seruan sebagai  pemanis atau sampiran

patah kayu bengkok :  patahkan kayu yang bengkok sebagai kayu bakar

bengkok dimakan api : meski bengkok tetap terbakar oleh api

apinya cangkurupan : apinya menyala-nyala kesana kemari seperti orang kesurupan

nang mana : yang mana

batis : kaki, betis

kutung : buntung

nang mana batis kutung : yang mana kaki (betis) buntung 

dikitip : digigit

bidawang : kura-kura besar

dikitip bidawang : digigit kura kura besar

Catatan :

Selama ini kita terbiasa mengucapkan frasa “dikitipi dawang”. Tidak mengapa, yang penting kini kita memahami struktur frasa yang benar adalah “dikitip bidawang”. Ada juga orang Ngawi yang mengucapkan “dikibiti dhawang”; “dikibiti” artinya dikipasi, sedangkan “dhawang” artinya apa?

Berikut disampaikan cara bermain :

1. Satu kelompok bermain terdiri atas lima atau enam orang. Kelima atau keenam pemain duduk melingkar di lantai sambil bahunjur (berselonjor, membujurkan kaki). Seluruh pasangan telapak kaki memusat.

2. Sebelum permainan dimulai (sebelum menyanyikan lagu “Ampar-ampar Pisang”, harus disepakati terlebih dulu, dimulai dari peserta yang mana.

3. Salah seorang di luar kelompok bermain ditunjuk sebagai pemandu permainan. Sebagai persiapan, ia membawa penunjuk dari bilah bambu sebesar jari kelingking, panjang satu meter.

4. Penunjukan dilakukan berlawanan dengan jarum jam.

5. Setiap penggalan larik lagu berlaku satu penunjukan untuk satu pasang kaki.

6. Dengan riang gembira, kelompok bermain  menyanyikan lagu “Ampar-Ampar Pisang”, pemandu menunjuk dan atau menyentuh masing-masing pasang kaki. Dalam satu permainan terdapat 14 pasang kaki yang ditunjuk (lihat larik-larik lagu “Ampar-ampar Pisang” yang sudah ditandai bernomor pada akhir larik!). Karena jumlah anggota terdiri atas lima atau enam orang, masing-masing berpikir dan menghitung tunjukan ke-14 jatuh kepada pemilik kaki siapa(?). Di sinilah serunya permainan. Biasanya para pemain tidak sempat menghitung. Yang penting mereka bermain dan bernyanyi begitu nyaring.

7. Pasangan kaki yang terakhir disentuh. Saat lagu telah habis dinyanyikan, pasangan kaki yang disentuh adalah peserta yang kalah (atau malah menang?). kemudian satu kaki dilipat atau tidak diikutsertakan dalam permainan. Ia berhak untuk diam atau tidak ikut bernyanyi. Ia dianggap sudah dikitip bidawang (digigit kura-kura besar).

8. Permainan dilanjutkan untuk putaran kedua. Pada putaran kedua, diawali dari pasangan kaki sebelah kanan peserta yang kakinya dilipat. Caranya seperti yang disebutkan di atas. Dan seterusnya.

9. Permainan dilanjutkan sesuai dengan kesepakatan sebanyak 3-4 putaran, sehingga tinggal 3 atau 2 pemain yang bernyanyi keras-keras! Ketiga atau kedua pemain bertahan dalam permainan. Semua dalam suasana riang gembira.

Lagu “Ampar-ampar Pisang” digubah oleh Hamiedan AC. Lalu siapa yang menciptakan permainan dengan iringan lagu “Ampar-ampar Pisang”? Kemudian apa latar belakang lahirnya lagu “Ampar-ampar Pisang”? Guru Galib mencoba menelusurinya. Sudah biasa, ia “berjalan ke lorong-lorong situs jagad maya”. Jika mencantumkan sumbernya, maka referensinya jauh lebih banyak daripada esai yang ia buat.

Di Kalimantan Selatan terdapat kuliner khas, yaitu : 1. Amparan Tatak, 2. Apam Barabai, 3. Bingka, 4. Bubur Baayak, 5. Cacapan Asam, 6. Gangan Humbut, 7. Hampap, 8. Ikan Patin Gangan Asam, 9. Ikan Seluang Goreng, 10. Itik Panggang, 11. Iwak Karing Sapat, 12. Kelepon Martapura, 13. Ketupat Kandangan, 14. Lempeng, 15. Lontong Orani / Orari, 16. Mandai, 17. Nasi Itik Gambut, 18. Nasi Kuning Khas Banjarmasin, 19. Otak-otak Ikan Pipih, 20. Pisang Gapit, 21. Pisang Goreng, 22. Rimping Pisang, 23. Roti Pisang, 24. Sambal Acan, 25. Sate Tulang, 26. Sayur Kambang Tigarun, 27. Sop Mutiara, 28. Soto Banjar

Setelah menekuni arti kata demi kata dan frasa dari larik-larik lagu “Ampar-ampar Pisang” dan mencoba menemukan kuliner yang berkaitan. Guru Galib menemukan dua jenis kuliner, yaitu Lempeng dan Rimping. Lempeng : jarang dijual di pasaran. Kebanyakan dibuat di rumah. Lempeng terbuat dari tepung dan pisang dengan bumbu-bumbu sesuai selera. Bahan baku lempeng biasanya adalah pisang yang sudah terlalu matang. Rasanya manis sangat nikmat jika disantap selagi hangat untuk berbuka puasa.

Kuliner kedua, yaitu Rimpi Pisang. Rimpi Pisang adalah Pisang Sale Basah, olahan berbahan baku buah pisang berasa manis legit, enak, dan lezat. Ciri khas buah pisangnya masih bisa dirasakan. Bisa dimakan langsung atau digoreng pakai tepung. Bisa buat camilan teman minum teh atau kopi. Kue Rimpi Pisang (Wadai Rimpi Pisang) sebenarnya jajanan atau cemilan orang Dayak atau orang Kalimantan. Hampir di seluruh kota di Kalimantan bisa dijumpai di toko oleh-oleh Wadai Rimpi Pisang..

Varian dari Rimpi Pisang, ialah Gaguduh Rimpi. Gaguduh Rimpi (Pisang Sale Goreng) adalah pisang yang disale di atas bara api selama beberapa hari sampai menghasilkan pisang sale yang berwarna coklat kehitaman dengan rasa khas yang manis legit karena pisang yang digunakan untuk disale adalah pisang batu (pisang awa atau pisang awak). Merimpi (menyale) pisang awa cukup melelahkan karena pisang yang disale di para-para dengan tinggi sekitar 1-1,5 meter, harus telaten membolak balik pisang kedua sisinya dan menjaga agar apinya tidak terlalu besar dan tidak padam.

Jika dalam lagu disebutkan apinya cangkurupan, dalam praktiknya membuat rimpi apinya jangan terlalu besar tetapi jangan sampai padam. Artinya menggunakan api kecil, malah yang dimanfaatkan adalah asapnya.

Buah pisang yang diampar adalah buah Pisang Batu (Pisang Klutuk, Pisang Klotok, Pisang Biji) atau Pisang Awak (Pisang Wak, Pisang Uter, Pisang Raja Tonto, Pisang Raja Kawin). Amerika serikat dikenal dengan nama “Dwarf Namwah”. Nama Latin Pisang Batu (Musa balbisiana COLA). Sedangkan Pisang Awak merupakan kultivar Musa acuminata × Musa balbisiana termasuk dalam kelompok kultivar pisang AABB. Kultivar ini ditanam di seluruh dunia dan dimanfaatkan buah dan daunnya.

Buah Pisang Batu berbentuk tandan setelah masak berwarna kuning. Rasanya manis, banyak sekali bijinya, 1 buah terdapat ± 50 biji, biji kecil, warna hitam (seperti biji kapuk randu). Buah Pisang Batu dipakai sebagai bahan pembantu untuk menimbulkan warna, memperkuat ketahanan warna yang berasal dari bahan pewarna alami.

Sebagai kultivar, Pisang Awak bisa berbuah berbiji dan bisa berbuah tanpa biji. Berat tandan buah 20 – 30 kg dan mempunyai 9 – 12 sikat (sisir). Setiap sisir bisa mencapai 16 buah pisang. Varitas pisang awak : Awak Kepek (sedikit masam manis), Awak Lilin (manis), dan Awak Legor.

Buah Pisang Awak yang masih muda atau masih mentah berwarna hijau. Saat sudah matang, buahnya sedikit melengkung, kulitnya berubah berwarna kuning dan ada noda-noda kecoklatan. Kulit buah “Pisang wak” tidak begitu tebal dan tidak tipis seperti pisang mas. Daging buah “Pisang wak” berwarna putih,
ada yang berbiji dan ada yang tidak berbiji. Tidak begitu beraroma khas pisang. Rasanya tergolong manis akan tetapi masih ada rasa masam. Ketika dikunyah pelan-pelan, sedikit kenyal dan tidak begitu dingin.

Di djaman doeloe atau djadoel (sebelum tahun 1972) pengeringan hanya mengandalkan sinar matahari, kemudian pengasapan dilakukan di tempat terbuka atau semi terbuka. Apalagi rimpi dibuat hanya untu konsumsi keluarga sendiri. Namun, seiring perkembangan zaman apalagi dengan adanya tuntutan produksi banyak dan keberlangsungan produksi rimpi, pengiringan dan pengasapan dilakukan di ruang tertutup. Istilah modern oven.

Pelaku bisnis produksi rimpi harus menyediakan ruang tertutup, misalnya berukuran 2 x 4 meter persegi atau 2 x 6 meter persegi, dan seterusnya tergantung kekuatan produksinya. Ruang ini tidak berjendela tetapi berpintu. Jadi benar-benar rapat.

Kayu bakar harus disiapkan yang cukup. Artinya jangan sampai kekurangan pada waktu produksi. Biasanya kayu yang disediakan berupa ranting dan dahan dari kayu jenis apa saja. Jika disediakan kayu berukuran besar, dibelah kecil-kecil. Kalau panjang, harus dipotong.

Suhu dan asap memang tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa dilepaskan dari pembuatan rimpi. Pengeringan dan pengasapan dengan membakar kayu akan menimbulkan pencemaran udara di lingkungan dan bahaya kebakaran. Hal ini akan menimbulkan polusi udara yang banyak dengan terbentuknya asap dan gas CO, CO2, dan lain-lain, yang dilepas ke udara bebas dan dapat merusak ozon.

Pisang sale asap ini memiliki rasa yang manis dengan tekstur yang lembut dan memilki aroma smokey yang khas. Smokey adalah istilah untuk rasa atau aroma berbau asap yang khas dari makanan yang dibakar atau dipanggang. Rasa, tekstur dan aroma dari pisang sale asap khas ini memang cukup banyak diminati terutama kalangan orang tua. Para orang tua biasanya suka dengan cemilan yang sehat dari buah-buahan dengan tekstur yang lembut agar mudah saat dikonsumsi.

Asap yang mengepul dan membubung hingga keluar dari ruang pengasapan serta suara gemericik saat sedang ranting dan potongan kayu terbakar jadi “musik” tersendiri. Dari mana datang asap? Dari senyawa organik hidrokarbon yang menguap berupa buraian (sembulan kecil) yang tersembunyi kemudian keluar dari lubang-lubang pembuluh kayu (xylem) dengan menghasilkan letupan-letupan kecil (gemericik) dan tentu saja asap.

Meski sangat kering, kayu masih mengandung mengandung kombinasi antara hidrokarbon, air, dan mineral dengan kadar yang sangat sedikit. Ketika kayu yang baru dibakar, masih terdapat asap sebagai hidrokarbon yang menguap. Penguapan berlangsung pada suhu sekitar 149 derajat celsius. Jika suhu pembakaran semakin  tinggi, senyawa hidrokarbon semakin mudah terbakar.

Berubahnya asap jadi api (yang disebut terbakar atau menyala) disebabkan reaksi kimia hidrokarbon dan oksigen. Begitu kayu mulai terbakar, tidak ada asap karena hidrokarbon diubah menjadi karbondioksida dan air (keduanya tidak tampak).

Selama berapi (kayu terbakar atau menyala), selama itu reaksi kimia hidrokarbon (gas dan partikel asap) dan oksigen pelan-pelan berlangsung. Berikutnya kayu yang terbakar berubah jadi arang. Dan arang yang panas pun pelan-pelan terbakar merah membara.

Arang dibuat dengan memanaskan kayu pada suhu tinggi tanpa adanya oksigen (tanpa menghasilkan api). Arang hanya akan menghasilkan karbondioksida yang tidak dapat dibakar lebih lanjut. Semakin sedikit asap yang dihasilkan, semakin cepat api direduksi menjadi arang yang menyala, semakin panas api itu, dan semakin sedikit asap yang dihasilkan. Karbon bergabung dengan oksigen untuk menghasilkan karbondioksida sampai semua yang tersisa di ujung api adalah abu-mineral.

Terkait dengan produksi rimpi, pebisnis tidak memikirkan untuk memperoleh arang karena mereka tidak berbisnis arang. Dengan demikian, arang yang membara dibiarkan begitu saja sekaligus membantu mempercepat pengeringan. Seiring dengan pengalaman yang mereka peroleh, mereka tahu seberapa banyak kayu bakar yang dibutuhkan untuk produksi rimpi dalam jumlah yang ditargetkan. Tidak kekurangan dan tidak kelebihan kayu bakar yang dipergunakan untuk pengeringan dan pengasapan.

Untuk menghasilkan rimpi yang berkualitas, pengolahannya memang rumit karena membutuhkan waktu beberapa hari. Hal itu dilakukan guna mengurangi kadar air pada buah pisang tersebut sehingga rimpi jadi awet dan dapat disimpan sampai setahun lamanya. Rasanya yang manis sekali seperti kurma dan ciri khas dari pisangnya masih dapat dirasakan. Pengusaha rimpi yang sukses adalah pengusaha yang ahli dalam memilih pisang, kayu bakar, pengasapan, dan durasi penjemuran rimpi. Meskipun demikian, beberapa rimpi yang tidak layak dijual, disebabkan oleh faktor panas matahari (karena mendung), api yang terlalu sedikit atau yang terlalu besar. Itulah sebabnya, harga jual rimpi menjadi sangat tinggi.  Itulah sebabnya, rimpi sangat jarang ditemukan di warung-warung, terkecuali di toko oleh-oleh yang berada di kawasan Banjar.

Dari berbagai sumber, Guru Galib memadukan Cara Membuat Rimpi Pisang. Hasilnya sebagai berikut :

1. Sediakan Buah Pisang Batu atau buah Pisang Awak (bahkan kini ada varian baru, yaitu Pisang Talas) secukupnya.

2. Kupas buah pisang kemudian belah jadi dua bagian.

3. Taruhlah di atas alas nyiru, iratan bambu yang dianyam renggang (rampatai, rigen, sasag), atau wadah iratan bambu yang dianyam rapat berbingkai (tambir, tampah). Kegiatan ini disebut maampar.

4. Jemurlah selama 2 hari, jika sudah kering, dibalik.

5. Jemur lagi selama 2 hari. Jika hari tidak panas, Rimpi pisang akan kering selama 5 – 7  hari, tergantung kondisi cuaca.

6. Di bawah tempat penjemuran, ditaruh api sebagai pengasapan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan serangga-serangga (bari-bari) yang hinggap.

7. Sesudah jemuran Rimpi Pisang kering, angkat lalu simpan di tempat yang kering dan tertutup rapat. Simpan dalam stoples.

8. Rimpi Pisang siap disajikan dan dapat bertahan lama 3 – 4 bulan, bahkan ada yang bisa disimpan selama setahun dalam suhu ruangan

Catatan :

Tambir disebut tampah besar. Sebagai perkakas dapur yang terbuat dari anyaman iratan bambu, berbentuk lingkaran dengan bagian pinggir diberi ikatan tali. Wadah ini biasa digunakan untuk memicahkan beras dari kulit padi, butir padi yang masih tertinggal, dan menir (remukan beras). Juga digunakan sebagai alas menjemur bahan makanan (jagung, ketela, kerupuk, emping, bawang merah, bawang putih, macam biji-bijian), kerupuk, nasi basi, dan gendar.

Pengasapan Rimpi Pisang bertujuan untuk mengawetkan dan memberi warna yang menarik. Suhu pengasapan bervariasi tergantung bahan bakar yang digunakan arang atau potongan kayu. Dalam perkembangan tungku pembakaran (pengasapan) digunakan drum bekas atau perapian yang disebut parak. Dengan pengasapan, dapat diperoleh produk Rimpi Pisang yang seragam, mengurangi polusi lingkungan, flavor, dan citarasa yang khas.

Dengan demikian, Guru Galib telah “merasa menemukan” buah pisang yang dimaksudkan dalam lagu “Ampar-ampar Pisang”. Lalu bagaimana halnya dengan “bidawang” sebagai kura-kura besar?

Berdasarkan penelusuran Guru Galib, dugaan kuat, Bidawang yang dimaksud adalah Tum-tum atau Tuntong Laut (Batagur borneoensis  – Callagur borneoensis). Secara unik dan eksotis, Tum-tum jantan ditandai dengan warna merah dan putih di kepalanya. Kawasan Kalimantan Selatan identik dengan lahan basah. Kawasan ini merupakan habitat tum-tum. Umumnya, mereka menyukai perairan berlumpur, seperti kawasan payau dan mempunyai bentang pantai. Ada sejumlah kawasan konservasi dipergunakan sebagai habitat alami dan upaya pelestarian.

Meskipun demikian, ternyata diperkirakan tum-tum lebih banyak menyebar di luar kawasan konservasi. Hal ini sangat menyulitkan pengawasan, terutama terhadap tindak perburuan ilegal. Hal ini mengingat tum-tum adalah satwa spesies yang termasuk prioritas perlindungan satwa nasional. Oleh sebab itu, Tum-tum wajib untuk dijaga kelestariannya.

Dugaann kuat berikutnya, bidawang yang dimaksud adalah Baning Cokelat (Manouria emys emys). Kura-kura besar ini merupakan salah satu spesies yang hidup di habitat orangutan di Hutan Kehje. Mereka biasa hidup di hutan-hutan primer dataran rendah di Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Pulau Sumatra, dan Kalimantan. 

Baning cokelat adalah kura-kura darat terbesar di Asia, dengan cangkang atau karapas berbeda dengan spesies lain. Ia memiliki empat kaki yang kuat dan kokoh dan ditutupi dengan sisik-sisik kasar, melindunginya dari duri dan berbagai benda tajam saat ia menerabas semak di lantai hutan. Makanan utama kura-kura ini adalah tumbuh-tumbuhan. Namun, mereka juga bisa memangsa cacing, siput, dan hewan-hewan kecil lainnya. Baning cokelat biasanya bertelur dua kali dalam setahun dengan jumlah telur 20 sampai 50 butir setiap kali periode bertelur. Baning cokelat juga satu-satunya jenis kura-kura yang meletakkan telurnya di sarang yang terbuat dari daun-daunan di atas permukaan tanah.

Baning cokelat ini dinyatakan berstatus ‘sangat terancam punah’ oleh IUCN. IUCN (International Union for Conservation of Nature atau Lembaga Internasional untuk Konservasi Alam) membantu dunia dalam mencari solusi pragmatis untuk lingkungan dan tantangan pembangunan yang paling mendesak. Oleh karena itu, keberadaannya di alam liar sangat perlu kita lindungi dan kita lestarikan.

Guru Galib melanjutkan penelusuran. Seperti yang sudah dikemukakan di atas, lagu “Ampar-ampar Pisang” mendeskripsikan  tentang buah pisang batu atau buah pisang awak yang diolah dengan cara diamparkan (dihamparkan, dijemur dalam pengolahan pisang sale). Lagu ini biasa dinyanyikan oleh anak-anak sebagai pengiring dalam permainan. Permainan ini diikuti oleh sejumlah anak sambil bernyanyi. Seiring berakhirnya lagu ini, anak terakhir yang disentuh, disepakati untuk melipat kakinya ibarat kaki yang buntung karena digigit bulus. Dengan kata lain, anak yang melipat kakinya tersebut dianggap telah kalah (atau menang?) dalam permainan.

Masyarakat Kalimantan Selatan terbiasa menyusun buah-buah pisang yang mulai masak. Meski hanya masak sebiji, anak-anak mulai mengerubuti. Mereka segera memakannya dengan lahap seperti api memakan batang kayu yang kering. Tidak jelas bagaimana sebiji pisang dimakan tiga atau empat orang. Mungkin buah pisang itu berukuran besar dan panjang. Si ibu tinggal membagianya tiga atau empat bagian.

Lagu “Ampar-ampar Pisang” lahir dari suasana yang disebutkan di atas. Bahkan dengan berasosiasi (bercanda) : anak-anak yang mengerubuti sebagai “dihurung bari-bari” – dikerubuti tungau, anak-anak yang makan buah pisang seperti “apinya cangkurupan” – api yang kesurupan, yaitu yang menyala-nyala membakar kayu dengan sempurna. Dengan piawai, Hamiedan AC menyusun larik-larik lagu ini, bisa berdasarkan pengalaman waktu kecil tahun 1946-1952 (saat beliau berusia 6-12 tahun, usia Sekolah Rakyat setara Sekolah Dasar), atau hasil pengamatan beliau terhadap teman-teman tetangganya.

Yang jadi pertanyaan ialah apa nama permainan yang diiringi lagu “Ampar-ampar Pisang”? Guru Galib bersemangat menelusurinya. Di Banjar Kalimantan Selatan terdapat paling tidak 26 permainan, yaitu : 1. Babanga (Bermain Babanga), 2. Babintih/Malanca (Bermain Tendangan Beradu antara Tulangkering dan Betis), 3. Babulanan (Bermain Bulan-bulanan), 4. Baburungan (Bermain Burung-burungan), 5. Bacit (Bermain Anak Cit sehingga Menghasilkan Bunyi Cit), 6. Badurit (Bermain Paling Belakang, Durit=Burit=Belakang), 7. Bagimpar (Bermain Melempar Batu dengan Kaki), 8. Balampauan (Bermain Membuat Rumah-rumahan), 9. Balap Jukung (Berlomba Balap Perahu Jukung), 10. Balogo (Bermain Logo / Tempurung Kelapa), 11. Bapantun (Berbalas Pantun), 12. Bagum (Bermain Tembak-tembakan yang Menghasilkan Bunyi Gum atau Bum), 13. Bakarat / Bakakudaan / Baarabaraban (Bermain Lomba / Balapan / Kerapan Kuda), 14. Balubuk (Bermain Memasukkan Biji Karet ke dalam Lubang), 15. Bapatakan (Bermain Simpan-simpanan atau Bermain Tanam-tanaman), 16. Basasakolahan (Bermain Sekolah-sekolahan), 17. Basaungkalatau (Bersabung Ikan Kalatau), 18. Basusumpitan (Bermain Sumpitan), 19. Batatimbulan Ilung, 20. Batewah/Batiwah (Bermain Upacara Temah/Tiwah), 21. Batungkau (Bermain Tinggi-tinggian Badan), 22. Bausutan (Bermain Usutan), 23. Buta Lele (Bermain Lele Buta), 24. Isutan Jarat (Bermain Kolong Tali Penjerat), 25.  Kuntau (Bermain Pencak Silat), dan 26. Tandik Pelanduk (Bermain Loncat Pelanduk). Dari 26 permainan ini berdasarkan deskripsi yang ada, sama sekali tidak ada yang menyinggung lagu “Ampar-ampar Pisang”. Oleh sebab itu, Guru Galib memberanikan diri untuk menempatkannya sebagai Permainan ke-27 dengan judul “Bidawang” sebagai penanda “Kura-kura Besar” yang wajib dilestarikan di Kalimantan Selatan.

Pangkur-Ngawi, 20230130.14440708.20.41

Penulis tinggal di Pangkur, Budayawan, di GPMB Ngawi sebagai Penasihat.