Kuadran Tengah

Kuadran Tengah

Februari 4, 2023 0 By Kusfandiari MM Abu Nidhat

Estuman Kusfandiari MM Abu Nidhat

“Jika ingin menjadi sukses maka jangan terus berada di kuadran kiri tetapi berpindahlah ke kuadran kanan,” sebuah pesan dari salah satu grup Whatsapp yang diikuti Guru Galib. Ia berkenalan dengan istilah kuadran kiri dan kuadran kanan.

Kuadran kiri adalah menukar waktu dengan uang, bekerja dari pagi sampai sore. Sayangnya deskripsi bekerja di kuadran kiri sebagai sesuatu yang naif dan negatif. Sedangkan kuadran kanan adalah tidak perlu bekerja dari pagi sampai sore. Hebatnya deskripsi bekerja di kuadran kanan sebagai sesuatu yang penuh kejayaan.

Jika kuadran sama halnya dengan kubu, maka bisa diistilahkan kubu kiri dan kubu kanan. Pesan berikutnya menunjukkan semacam ralat bahwa kedua kubu berkekuatan sama. Intinya memberi kesan setelah “membanting” kubu kiri kemudian menolongnya untuk segera pindah ke kubu kanan.

Cashflow Quadrant di buku Robert Kiyosaki menyebutkan bahwa kuadran kiri adalah Employee dan Self Employee (Karyawan dan Profesional), sedangkan kuadran kanan adalah Business Owner dan Investor (Pemilik Bisnis dan Investor). Keempat bidang itu tidak ada yang jelek, tidak ada yang lebih bagus. Yang membuat seseorang itu sukses dan bisa menikmati hidup bukan karena ada di kuadran kiri atau kuadran kanan, tetapi tergantung pada pola pikirnya.

Teori awal Cashflow Quadrant menunjukkan kedua kubu berbaikan. Namun, entah siapa yang memulai untuk menyeret-nyeret orang agar bermigrasi ke kubu kanan. Satu persuasi yang menyesatkan.

Jika Karyawan dan Profesional bisa mengalami keterpurukan, mestinya Pemilik Bisnis dan Investor juga bisa mengalami keterpurukan. Jika Pemilik Bisnis dan Investor mengalami kejayaan, sudah semestinya Karyawan dan Profesional juga mengalami kejayaan. Inilah yang namanya keberimbangan.  Orang Jawa punya filosofi “Memayu Jantraning Urip” (Menghargai Siklus Hidup) atau “Waspadha marang Sandyakalaning Wusana” (Waspada terhadap Keadaan di Ujung Kisah Hidup). Tidak ada orang yang mengalami keterpurukan terus-menerus. Demikian pula tidak ada orang yang mengalami kejayaan terus-menerus. Semua ada masanya. Semua indah pada waktunya.   

Mengapa kubu-kubu yang ada mesti dibanding-bandingkan? Guru Galib pun menangkap pesan-pesan yang ada berasal dari pihak kuadran kanan. Intinya tetap berusaha menyeret pihak kuadran kiri untuk segera bermigrasi mengubah pola hidup yang linier menjadi pola hidup deret ukur (1, 2, 4, 8, 16, 32, dan seterusnya). Itu hak pihak kuadran kanan memberikan gambaran tentang kejayaan yang masih dalam impian.

Ketika beragam latar belakang profesi dimintai pendapatnya tentang upaya meningkatkan pendapatan, secara dikotomi mereka terbagi jadi dua golongan, yaitu golongan yang ingin meningkatkan pendapatan dan golongan yang bertahan pada pendapatan yang mereka terima. Jadi jangan kecewa jika kubu kuadran kiri bertahan di zona nyaman! Sedangkan sejumlah orang “mencoba” bermigrasi dari zona nyaman dengan segala ragam petualangan di kiprah kubu kuadran kanan, juga tidak dilarang. Yang penting kesan dari pesan untuk “segera” atau “terburu-buru segera bergabung mumpung ada kesempatan” tentu patut diwaspadai. Ada apa dengan “keterburuan ini”?

Guru Galib memahami pesan yang disampaikan oleh pihak kuadran kanan. Inti persoalan sebenarnya terletak pada pola pikir. Ia tetap pada pendiriannya bahwa uang yang ia terima harus dikelola sebaik-baiknya agar cukup untuk satu bulan. Sepuluh pesan, seratus pesan, bahkan seribu pesan yang semacam, ia abaikan dan fokus pada bagaimana mengisi hari-hari dengan penuh semangat dan kebahagiaan bersama keluarga.

Harus diakui sejujurnya bahwa dalam hidup kita memang butuh uang. Namun, uang bukan ukuran kebahagiaan. Bagi siapapun, kesadaran harus diperbarui bahwa kekayaan tidak menjamin seseorang menjadi bahagia. Harus diakui bahwa banyak komponen yang terlibat dalam membangun kebahagiaan, seperti keluarga lengkap, rezeki halal,  sahabat yang baik, dan tetangga yang baik.

Dan yang tidak kalah pentingnya bagaimana kita mengelola pola pikir. Merasa cukup dengan apa yang dimiliki serta menghilangkan rasa dengki merupakan dua kunci dalam membangun kebahagiaan. Tidak berambisi menggapai segala sesuatu di atas ekspetasi diri sendiri sudah merupakan upaya menggapai hidup tenang.

Boleh-boleh saja setiap kita berorientasi kepada berlimpah uang, karier sukses, pendapatan layak, pendidikan tinggi, tempat tinggal nyaman, kesehatan terjamin. Upaya pencapaian (pursuing), pemenuhan (fullfilling), dan kesejahteraan subjektif (subjective well-being) atas tujuan hidup merupakan kebahagiaan yang mendasar. Dan dua kunci penentu kebahagiaan, yaitu rasa senang (feeling of pleasure) dan puas dalam kemuliaan (noble satisfaction) harus kita kelola sebaik-baiknya.

Tiga dimensi dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yakni pencapaian kesehatan melalui harapan hidup yang panjang, pendidikan dengan lama sekolah, dan ekonomi lewat pendapatan yang layak harus dipadukan dengan tiga dimensi besar yaitu evaluasi hidup, perasaan, dan makna hidup.

Variabel dimensi tersebut di atas tergambar sebagai berikut.

 Variabel DimensiEvaluasi hidupPerasaanMakna hidup
Pencapaian kesehatan melalui harapan hidup yang panjang   
Pendidikan dengan lama sekolah   
Ekonomi lewat pendapatan yang layak   

Tiga dimensi besar yaitu evaluasi hidup (life evaluation), perasaan (affect), dan makna hidup (eudemonia). Dimensi evaluasi hidup mengukur kepuasan kehidupan individu, seperti puas akan pendapatan, kesehatan, dan pekerjaan. Dimensi perasaan mengukur tingkat emosional individu dalam periode tertentu, seperti senang, cemas, marah, tertekan, bahagia, dan sebagainya. Dimensi eudemonia mengukur fungsi psikologi dalam memaknai kehidupan, seperti kemandirian, penguasaan lingkungan, hubungan sosial, aktualisasi diri, ekspetasi, passion, dan sebagainya.

Taraf kebahagiaan tidak cukup dipenuhi materi ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Kebahagiaan merupakan manifestasi emosi yang terbentuk sejak lahir, dan tentu wajar jika diukur dengan keterlibatan dimensi perasaan dan upaya memaknai kehidupan yang diterima.

Taraf kebahagiaan tetap menarik untuk dibahas dan dikembangkan bagi setiap individu. Akan lebih lengkap jika disertai dengan dimensi spiritualitas yakni senantiasa mengaitkan norma agama dalam kehidupan sehari-hari.

Berikut, Guru Galib mengutip sejumlah hadits.

“Kaya (yang sebenarnya) bukan dengan banyaknya harta, tapi kaya yang sebenarnya adalah kaya hati.” (Hadits Riwayat Muttafaq Alaih)

“Barangsiapa yang ingin menjadi orang paling kaya, maka lebih percayalah pada apa yang dimiliki Allah daripada apa yang ada di tangannya.” (Hadits Riwayat Imam Hakim)

“… dan ridhalah dengan apa yang diberikan Allah untukmu, maka kamu menjadi orang yang paling kaya…” (Hadits Riwayat Imam Baihaqi)

“Sungguh beruntung, orang yang (beragama) Islam, diberi rezeki yang cukup, dan menerima apa yang diberikan Allah kepadanya.” (Hadits Riwayat Imam Muslim)

Dari sejumlah hadits tersebut di atas,Guru Galib membuat simpulan sebagai berikut.

1. Kaya hakiki adalah saat hati kita merasa kaya

2. Selalu bersandar dan bertawakal hanya kepada Allah

3. Menerima pemberian Allah dengan ikhlas

4. Sering-seringlah melihat ke bawah agar pandai bersyukur

5. Amal saleh itu akan berbuah kebahagiaan hidup

Guru Galib memilih zona nyaman di “kuadran tengah”, karena ia menyadari sebagai individu yang purna tugas.

Pangkur-Ngawi, 20230123.14440630.11.28

Penulis tinggal di Pangkur, Budayawan, di GPMB Ngawi sebagai Penasihat.