Fenomena Onomatope
Januari 9, 2023Estuman Kusfandiari MM Abu Nidhat
Pada hakikatnya, berbahasa adalah evolusi komunikasi lisan. Berawal komunikasi gerak lewat refleks harmonisasi pantomime-mulut dengan gerakan tangan yang menghasilkan suara. Suara-suara yang dihasilkan kemudian dirangkai untuk menjadi ujaran yang bermakna.
Secara primitif, berbahasa merupakan ekspresi emosi. Berbahasa berlanjut dari meniru bunyi-bunyi yang terdengar di alam sekitar (nyanyian burung, suara binatang, suara guruh, hujan, angin, ombak sungai, samudra dan sebagainya). Berbahasa adalah upaya menghubungkan suara dan makna. Dengan demikian, awalnya berbahasa tidak bersifat arbitrer. Berbahasa merupakan ekspresi ujaran ketika mengindrai (menggunakan panca indera) untuk menanggapi peristiwa yang terjadi. Dulu, manusia primitif sewaktu melihat serigala, secara insting mereka berseru “wolf”, yang maksudnya menghubungkan seruan “wolf” dengan binatang yang sekarang kita sebut serigala.
Pada awalnya bahasa merupakan ungkapan seruan keheranan, ketakutan, kesenangan, kesakitan dan sebagainya. Bahasa pertama timbul dalam suasana kegiatan sosial di mana para pelaku terlibat dalam komunikasi. Adanya gerak jasmani yang secara spontan diikuti dengan munculnya seruan. Misalnya, sekelompok orang bersama-sama mengangkat kayu berat, secara spontan mereka berseru karena terdorong gerakan otot. Seruan yang dimaksud berusaha menghubungkannya dengan gerakan otot mereka.
Bahasa berawal dari nyanyian primitif . nyanyian ini dipergunakan menyampaikan pesan. Dengan kosa kata terbatas, nenek moyang kita sudah bisa berkomunikasi lewat nyanyian.
Dalam peradaban modern, bahasa lisan telah mengalami transformasi dalam bentuk bahasa tulis. Berbahasa baik lisan maupun tulis telah mengalami perkembangan secara evolutif.
Berbahasa merupakan “keharusan batin” untuk mewujudkan pesan yang tersembunyi dalam batin. Keharusan batin telah melahirkan ekspresi batiniah seperti bahagia, gelisah, kecewa, atau marah,dan sebagainya.
Berbahasa merupakan komunikasi yang terjadi sebagai hasil persetujuan dan perjanjian antar-anggota masyarakat. Tanpa adanya persetujuan dan perjanjian atas kode-kode yang dimaksud, tidak mungkin terjadi interaksi antar anggota masyarakat. Oleh sebab itu, mereka (dan juga kita) memerlukan sarana komunikasi, yaitu berbahasa.
Salah satu fenomena berbahasa yang menarik untuk dikaji, meski secara singkat, yaitu onomatoper. Onomatope (dari Bahasa Yunani ονοματοποιία) adalah kata atau sekelompok kata yang menirukan bunyi-bunyi dari sumber yang digambarkannya. Konsep ini berupa sintesis dari kata Yunani όνομα (onoma = nama) dan ποιέω (poieō, = “saya buat” atau “saya lakukan”) sehingga artinya adalah “pembuatan nama” atau “menamai sebagaimana bunyinya”. Bunyi-bunyi ini mecakup antara lain suara hewan, suara-suara lain, tetapi juga suara-suara manusia yang bukan merupakan kata, seperti suara orang tertawa.
Berikut beberapa contoh onomatope. Suara hewan: menggonggong, mendesis, mengaum, mengeong, meringkik, dan sebagainya. Suara benda atau barang : tercebur, mengetuk, menggedor, menggebrak, dan sebagainya. Suara manusia: tertawa, menangis, berteriak, dan sebagainya.
Menariknya lagi, dalam Bahasa Jawa, terdapat sejumlah kata yang berasal dari fenomena onomatope. Hal ini terlihat (terdengar dari suku akhir kata-kata yang bersangkutan), sebagai berikut.
Suku Akhir | Kata yang Dihasilkan |
bah | grabah, lembah, sembah, tambah, umbah |
beg | grebeg, gumrebeg |
bluk | cubluk, kabluk, mabluk |
bol | bobol, jebol, kobol |
bom | bom |
brah | bubrah |
breg | breg, gumbreg |
brol | ambrol |
bruk | ambruk, kabruk, tubruk |
brung | gembrung |
buh | gambuh, jumbuh, imbuh, brubuh |
bur | bubur, cebur, kabur, lebur, lembur, subur |
byah | byah, krembyah-krembyah |
byar | ambyar |
byog | gebyog |
cak | cicak, lincak, racak |
cing | gemerincing, krincang-krincing |
cong | keroncong |
dhung | glundhung |
gar | cagar, gegar, gelegar, langgar |
glung | jumengglung |
gog, og | jegog, togog, reog |
gong | gong, jenggong |
kak | cekak, pokak |
kek | cekek, tokek |
kur | bukur, kukur, pungkur |
nging | mbenging, ndrenginging |
par | gelepar, sampar, tepar |
pet | dhipet, mampet, rapet |
pik | kripik |
plak | keplak, semplak, taplak |
pleng | cumpleng, kampleng |
plok | emplok, keplok, semplok, |
pluk | kupluk, sampluk, ceplukan |
prah | kaprah |
preg | gapreg, kapreg |
prek | geprek |
puk | klumpuk, krupuk, tumpuk |
pyag | kropyag |
pyang | ampyang, krompyang |
pyar | kepyar |
pyok | gropyok |
pyor | kopyor |
pyuh | sampyuh |
pyuk | gapyuk |
tek | kretek |
seg | kreseg |
seg | paseg, mingseg-mingseg, seseg |
thuk | bathuk, gathuk, kethuk, kemlethuk, manthuk, thuthuk |
tik | ketik, rintik |
tog | mentog, notog, rontog |
trung | gantrung, kentrung, kluntrang-kluntrung |
yang | lempuyang |
yeg | riyeg |
yek | rempeyek |
Pangkur-Ngawi, 20220922.14440225.05.47 diperbaiki di Kemiri-Magelang, 20230108.14440615.05.41 Penulis tinggal di Pangkur, Budayawan, di GPMB Ngawi sebagai Penasihat.