Diseminasi Vs Disrupsi Bagian 1

Diseminasi Vs Disrupsi Bagian 1

Desember 28, 2022 0 By Kusfandiari MM Abu Nidhat

Estuman Kusfandiari MM Abu Nidhat

Diseminasi didefinisikan sebagai kegiatan menyebarkan informasi yang ditujukan kepada individu atau kelompok sasaran  agar memperoleh dan memahami informasi, dan akhirnya berusaha mengubah perilaku mereka. Diseminasi juga didefinisikan sebagai proses menyebarkan inovasi yang direncanakan, dikelola, dan diarahkan. Dari Diseminasi yang dilaksanakan, diharapkan terjadi perubahan pada aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan, serta mampu saling bertukar informasi, yang akhirnya menciptakan produk dan jasa inovasi.

Selain Diseminasi, kita dapati istilah yang lagi viral belakangan ini, yaitu disrupsi. Kedua istilah ini, menurut Guru Galib bisa bertumpang tindih, dan saling melengkapi. Kita sudah cukup lama memasuki era disrupsi di mana terjadi perubahan masif yang mengubah sistem dan tatanan bisnis yang terbarukan. Kenyataan menunjukkan bahwa disrupsi disebabkan oleh beragam kreativitas dan inovasi. Keniscayaan selalu hadir dann kita tidak bisa memungkiri.

Jika disrupsi didefinisikan sebagai suatu hal yang tercabut dari akarnya, maka cukup banyak bukti bahwa fenomena yang ada merupakan lompatan besar, di mana disadari atau tidak, terpaksa atau tidak, kita mesti keluar dari tatanan lama, dan mengubah sistem  lama menjadi sistem baru. Beragam kreasi dan inovasi bermunculan yang mengakibatkan perubahan besar-besaran yang membuat kita mesti berusaha menyesuaikan. Padahal perubahan itu terus-menerus terjadi, dan kita harus mengikuti dengan sikap beradaptasi sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.

Hal inilah yang lagi disampaikan Guru Galib bahwa sebagai pengurus apapun organisasinya, duduk di bagian tertentu sudah seharusnya memahami dan bersikap dalam mengejawantahkan diseminasi dan disrupsi.

Sebagai pengurus, entah duduk di PGRI, IGI, GPMB, Komnas Pendidikan, UMKM, jangan sampai hanya berperan sebagai simbol belaka atau sekedar nitip nama lalu dengan bangganya apabila ada suatu keberhasilan diklaim habis-habisan bahwa dirinya yang telah berhasil melakukan terobosan. Diseminasi dalam mengantisipasi disrupsi tidak seperti membalikkan tangan dan membuat teori-teori yang sama sekali tidak pernah dipahami audiens. Aksi nyata sangat ditunggu-tunggu oleh para sasaran agar mereka pun dengan sadar ikut melakukan perubahan.

Dan perubahan itu tidak terjadi serta merta atau dalam sekejap. Boleh jadi berlangsung sampai belasan tahun kemudian. Perubahan membutuhkan waktu yang lama. Pengelola diseminasi harus menyadari betul bahwa butuh kesukarelaan untuk secara terus menerus memberikan contoh, butuh tenaga dan pikiran, serta risiko yang dihadapi tidaklah ringan. Ketidakpahaman akan perubahan sering dialami oleh sasaran dan mereka menghadapi sebagai sesuatu yang dianggap biasa karena mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Sikap menghadapi perubahan tidak bisa diwariskan, tetapi masing-masing individu harus benar-benar bisa mengantisipasi kejutan-kejutan yang terjadi atas perubahan itu.

Disrupsi diejawantahkan sebagai pergerakan masif tak lagi linier, berpola sulit tebak (volatility), perubahan tanpa kepastian (uncertainty), kompleksitas antar penyebab perubahan (complexity), ketakjelasan yang menyebabkan ambiguitas (ambiguity). Sebagai basis dalam kehidupan, teknologi informasi telah mengubah perilaku manusia. Salah satu di antaranya, pemanfaatan dan penerapan teknologi digital telah mengubah pembelajaran ke dalam pola cyber system. Kondisi semacam ini membuat pewarisan ilmu pengetahuan dan kompetensi dapat berlangsung secara kontinu tanpa harus selalu bertatap muka di kelas. Pembelajaran ini memudahkan para peserta didik belajar. Disrupsi yang terjadi harus disikapi dan disadari bahwa belajar bukan lagi interaksi langsung antara siswa dan guru, melainkan telah bergeser menjadi proses tunggal mencari tahu dari segala sumber. Gaya maupun cara baru untuk belajar di era digital ini merupakan dampak dari tersedianya produk-produk Iptek dan tren global yang mengemuka. Di era ini, para peserta didik adalah para pengguna otodidak yang sangat mengandalkan teknologi dalam menjalani aktivitas belajar sehari-hari

Internet telah memudahkan para siswa mengakses informasi dan konten hiburan. Sesuai dengan kesenangan dan keinginan, mereka dapat menemukan apa saja di dunia maya dan menimbulkan ketergantungan akut terhadap internet. Situasi semacam ini membuat keterlibatan dalam diskusi ‘nyata’ bersama teman sebaya menjadi terkurangi. Mereka cenderung mengalami skeptis dan menyendiri. Keadaan seperti ini juga berpotensi mengurangi hubungan humanis antara guru dengan murid. Peran guru telah banyak tergantikan oleh teknologi. Kepekaan dan kemampuan bersosial mereka juga terdegradasi. Egosentris akan sangat mudah tumbuh karena akses terhadap lingkungan berkurang dan terbatas.

Fenomena disrupsi pembelajaran muncul dan langsung dialami para peserta didik. Sebagai generasi neo-milenial, karena sudah sangat akrab dengan teknologi digital, mereka jadi cenderung bersikap individualistis, berjiwa bebas, mampu menjalankan tugas secara multitasking. Kondisi semacam inilah yang membuat para peserta didik secara otomatis akan mudah larut pada pusaran disrupsi. Akhirnya secara umum, pendidikan mengalami pergeseran karena disrupsi pembelajaran.

Bagaimanapun , internet maupun media online hanyalah sekedar sebagai tools untuk belajar. Konten internet bisa saja membuat para siswa mengetahui segala hal, namun tidak cukup mampu untuk membekali mereka terkait dengan kecerdasan sosial dan emosional.

Tantangan guru saat ini tidak hanya mampu menggiatkan inovasi pembelajaran, tetapi juga menguatkan segala ragam literasi digital dalam kehidupan sehari-hari para peserta didik.

Semoga para orang tua memahami dan menyadari bahwa saat ini para guru menghadapi situasi sulit terkait dengan disrupsi pendidikan. Sudah selayaknya para orang tua turut terlibat mencarikan solusinya.

Pangkur-Ngawi, 20221223.14440529.07.11

Penulis tinggal di Pangkur, Budayawan, di GPMB Ngawi sebagai Penasihat.