Tragedi Perebutan Tahta Nama “Maja”

Tragedi Perebutan Tahta Nama “Maja”

Februari 4, 2023 0 By Kusfandiari MM Abu Nidhat

Estuman Kusfandiari MM Abu Nidhat

Menarik sekali untuk dibahas : Tumbuhan mana yang berhak menyandang nama “Maja”? Sebab selama ini, tumbuhan yang kita kenal sebagai maja, ternyata adalah berenuk. Di jagad maya, banyak artikel yang membahas berenuk dan bael. Kebanyakan hasil salin-tempel yang pada umumnya menunjukkan deskripsi tumpang tindih. Belum tuntas mendeskripsikan berenuk, sudah beralih ke bael. Demikian pula, sebaliknya. Hal ini membuat pembaca sulit memahami. Dibutuhkan usaha membaca cermat, memilahkan dan mengumpulkan data dan informasi yang relevan untuk masing-masing deskripsi berenul dan bael.

Tumbuhan mana yang berhak menyandang nama “Maja”? Hal ini bisa dianalogikan dengan “Jambu Air” dan “Jambu Biji”. Kedua tumbuhan ini berhak menyandang nama “jambu”. Ternyata keduanya tidak mempunyai hubungan kekerabatan. Agar bersikap adil dan bijaksana, kedua tumbuhan yang kita bicarakan, sama-sama kita beri nama “Maja”, sehingga menjadi “Maja Berenuk” dan “Maja Bael”.

Buah maja selalu dikaitkan dengan asal-usul Kerajaan Majapahit (1293 – 1527) sebutan untuk kerajaan besar dengan nama resmi Wilwatikta. Dalam bahasa Sansekerta : maja (vilva) dan tikta (pahit). Konon, saat Raden Wijaya dan para pengikutnya babat alas (membuka hutan) Tarik, mereka menemukan banyak tumbuhan ini yang sedang berbuah. Menurut mereka, buah yang mereka temukan itu rasanya pahit. Kemudian, karena itu, mereka memberi nama daerah itu sebagai maja-pahit. Nama ini lantas menjadi nama kerajaan yang dipimpin Raden Wijaya. Lalu Maja-pahit yang dimaksud itu buah Maja Berenuk ataukah buah Maja Bael? Guru Galib pun menelusuri dengan cermat.

 Maja Bael (Aegle marmelos (L.) Correa, termasuk suku jeruk-jerukan (Rutaceae). Tumbuhan ini berasal dari daerah Asia tropika dan subtropika, mampu tumbuh dalam kondisi lingkungan keras, seperti tanah bebatuan, kekurangan air, dan suhu ekstrem. Buahnya berukuran relatif lebih kecil, rasanya tidak pahit, melainkan manis dan enak dimakan. Jika buah yang dimakan oleh para punggawa Majapahit adalah buah Maja Bael, mengapa rasanya pahit? Hal ini tidak sesuai dengan deskripsi buah Maja Bael itu manis dan enak dimakan.

Ukuran buah Maja Bael hanya sedikit lebih besar dari  buah apel. Daging buahnya berwarna kuning mengarah ke jingga. Bagian Maja Baèl yang bisa dikonsumsi, bukan hanya daging buah; melainkan juga pucuk daun dan bunga. Pucuk daun Maja Baèl malah tak terasa pahit, seperti halnya serat daging buahnya. Ada rasa dingin mint saat mengunyah pucuk daun dan bunga Maja Baèl, sama dengan ketika kita mengunyah serat daging buahnya. Mint  memberikan sensasi suhu dingin yang unik. Hal ini disebabkan adanya molekul biokimia mentol.

Di India, Nepal, Pakistan, Srilanka, Bangladesh, Myanmar  dan Thailand;  daun dan bunga maja bael dijual di pasar; bersamaan dengan buahnya.  Di India, maja bael bukan hanya dibudidayakan secara massal dan komersial, melainkan juga dikeramatkan oleh Umat Hindu.

Di India, Srilanka, dan Thailand. Di tiga negeri ini, Maja Bael dibudidayakan dalam skala besar. Selain dikonsumsi segar sebagai minuman, di tiga negara ini Maja Bael juga diolah menjadi bahan minuman dalam bentuk serbuk, irisan buah kering, dan juga minuman siap konsumsi dalam kemasan. Di kota-kota besar di India penjaja minuman Maja Bael segar berderet di kakilima. Buah Maja Bael yang sudah tua dan berwarna kekuningan dijajarkan di gerobak mereka. Ketika ada pembeli, buah maja itu dipecah, diambil daging buah berikut biji, diberi air sambil daging buah itu dihancurkan, ditambah gula atau sirup dan es batu, lalu diminum dengan atau tanpa disaring. Biasanya masyarakat India mengonsumsi minuman maja segar ini berikut serat dan bijinya.

Eksistensi Kerajaan Majapahit

Sekarang mari kita coba merunut eksistensi Kerajaan Majapahit. Kejayaan Majapahit, dibagi menjadi Tiga Periode yaitu :

Periode Pendirian Kerajaan (1293-1309) : Kerajaan Majapahit di bawah kepemimpinan Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana Dyah Sanggramawijaya) setelah mengalahkan Jayakatwang dan tentara Mongol (Tartar).

Periode Pertumbuhan (1309-1350) : Kerajaan Majapahit di bawah kepemimpinan Jayanegara (Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara) dan dilanjutkan oleh Tribhuwana Wijayattunggadewi Dyah Gitarja. Tonggak penting Masa Pertumbuhan ini adalah ketika Gajah Mada diangkat sebagai Mahapatih Majapahit dan pengucapan Sumpah Palapa.

Periode Keemasan (1350-1389) : Kerajaan Majapahit di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada. Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaan dengan keberhasilan jejaring luas dalam perdagangan dan politik mempersatukan Nusantara.

Wafatnya Raja Hayam Wuruk (1389) sebagai tanda awal runtuhnya Kerajaan Majapahit. Salah satu penyebabnya adalah konflik perebutan tahta. Pewaris dari Hayam Wuruk adalah putri mahkota Kusumawardhani, yang menikahi sepupunya sendiri, pangeran Wikramawardhana. Selain itu, Hayam Wuruk juga memiliki putra dari selirnya, yakni Wirabhumi yang juga menuntut haknya atas tahta raja. Akhirnya, meletuslah perang saudara di kerajaan Majapahit yang sering disebut dengan perang Paregreg yang diperkirakan terjadi antara 1405 hingga 1406 antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana.

Perang saudara ini akhirnya dimenangi Wikramawardhana. Perang ini berdampak melemahkan kendali Majapahit atas daerah-daerah taklukannya di seberang. Pada kurun pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi laut Dinasti Ming yang dipimpin oleh laksamana Cheng Ho yang merupakan seorang Jenderal Muslim China, tiba di Jawa beberapa kali antara kurun waktu 1405 sampai 1433.

Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Islam, yaitu kerajaan Islam Malaka, mulai muncul di bagian barat nusantara.

Di bagian barat kerajaan yang mulai runtuh ini, Majapahit tak kuasa lagi membendung kebangkitan Kesultanan Malaka yang pada pertengahan abad ke-15 mulai menguasai Selat Malaka dan melebarkan kekuasaannya ke pulau Jawa. Sementara itu, beberapa jajahan dan daerah taklukan Majapahit di daerah lainnya di nusantara, satu persatu mulai melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.

Kerajaan Majapahit pun mulai runtuh perlahan dengan masuknya Islam ke Indonesia. Salah satu penyebabnya ialah adanya intervensi kerajaan Islam Demak yang mengubah sejumlah aspek dalam kerajaan Majapahit. Aspek pertama, masyarakat Majapahit yang semula memeluk agama Hindhu-Budha beralih ke agama Islam. Aspek kedua, adanya percampuran Budaya Jawa dengan Islam yang menghilangkan pengaruh kerajaan Majapahit. Aspek ketiga, beralihnya kekuasaan Hindu Budha ke sistem kekuasan bercorak Islam. 

Bangsa Eropa Membawa Oleh-oleh Berupa Maja Berenuk

Buah yang selama ini kita kenal sebagai maja itu sebetulnya adalah buah Maja Berenuk, kadang dilafalkan brenuk atau bernuk (calabash tree, huingo, krabasi, atau kalebas). Portugis : cabaça. Belanda : kalebas boom.

 Ada tiga spesies Maja Berenuk, yakni Crescentia cujete, Crescentia alata, dan Crescentia portoricensis. Ketiga Maja Berenuk itu merupakan tumbuhan asli daerah tropis Benua Amerika, dan bukan tumbuhan asli Indonesia. Bangsa Portugis dan Belanda membawa “oleh-oleh” berupa Maja Berenuk ke bekas Kerajaan Majapahit, sebagai cikal bakal Indonesia. Tidak jelas (untuk keperluan apa) Maja Berenuk dibawa kemari (?) Bangsa Portugis sampai di Maluku, tepatnya Ternate, pada tahun 1512. Sedangkan Belanda datang pertama kali ke Banten, Indonesia pada tahun 1596. Ternyata, di Indonesia yang tumbuh dan berkembang adalah Maja Berenuk spesies Crescentia cujete. Portugis : Aumentar o crescimento. Belanda : Verhoog de groei.

Artinya apa? Bangsa Portugis (1912) dan Belanda (1596) tidak pernah “menangi” (tidak pernah bertemu) dengan Kejayaan Kerajaan Majapahit (1350-1389) bahkan runtuhnya Kerajaan Majapahit (ditandai dengan Perang Paregreg (1405-1406), yang dikenal dengan Sangka Kala : Sirna (0) Ilang (0) Kertaning (4) Bhumi (1) yang dibaca terbalik jadi 1400, simbol dari Sandyakalaning Majapahit (Majapahit di Kala Senja).

Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa Maja Berenuk tidak mungkin sudah ada di Jawa pada masa Kerajaan Majapahit.  Kalaupun Raden Wijaya dan anak buahnya saat itu mengklaim menemukan banyak pohon maja di Alas Tarik, sangat mungkin pohon maja itu bukan Maja Berenuk.

Maja Bael Tumbuhan Asli Indonesia

Maja Bael (Aegle marmelos) tumbuhan asli IndonesiaGenus Aegle terdiri atas enam spesies: Aegle barteri, Aegle correa, Aegle decandra, Aegle glutinosa, Aegle marmelos, dan Aegle sepiaria. Dari enam spesies ini, yang merupakan tanaman penting hanya Aegle marmelos. Selain disebut Maja Bael, tanaman ini dinamai Maja Batu atau Maja Manis. Penambahan kata “manis” dimaksudkan untuk membedakan dengan Maja Berenuk yang memang berasa pahit dari genus dan spesies berbeda.

Habitat asli Maja Bael tersebar mulai dari Pakistan, India, tenggara Nepal, Sri Lanka, Bangladesh, Myanmar, Thailand, Laos, Vietnam, Kamboja, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Selain disebut bael, di negara-negara habitatnya, buah ini juga disebut Bilva, Bilwa, Bel, Koovalam, Koovalam, Madtoum, Beli Fruit, Bengal quince, Stone apple, atau Wood apple.

Di Jawa, Maja Bael tumbuh di dataran rendah, terutama di kawasan yang beriklim sangat kering. Kawasan sekitar Mojokerto (lokasi bekas Kerajaan Majapahit), memang habitat tanaman Maja Bael.

Tajuk adalah keseluruhan bagian tumbuhan. Bentuk tajuk bermacam-macam dan sering kali khas untuk kelompok tumbuhan tertentu. Bentuk itu ditentukan oleh adaptasi dan bagaimana suatu individu bertahan hidup di tempat tumbuhnya. Tajuk Maja Berenuk dan Maja Bael berbeda. Tajuk Maja Berenuk mengarah ke samping, sedangkan tajuk Maja Bael tumbuh menjulang. Pohon Maja Bael bisa tumbuh sampai setinggi 20 m. Kayunya sangat keras. Tajuk Maja Bael mirip dengan Kawista (Limonia swingle) dan asam keranji (Dialium indum), karena ketiganya memang bersaudara dan sama-sama famili Rutaceae. Tetapi daun Maja Bael sedikit lebih lebar dari keduanya.

Koleksi tanaman maja Aegle marmelos di Indonesia bisa kita temui di Kebun Raya Purwodadi, Jawa Timur, yang terletak di antara jalan raya Surabaya – Malang.

Buah Maja Bael mirip Buah Kawista. Kedua macam buah ini jika dijadikan sirup rasanya mirip coca cola (rasa cola). Buah Maja Bael Aegle marmelos berbentuk bulat agak lonjong, dengan tonjolan di bagian pangkalnya, kulitnya halus, berwarna cokelat gelap. Buah Maja Bael maupun Buah Kawista bertempurung sangat keras. Tekstur buah serta bijinya sama. Bedanya, buah kawista berbentuk bulat sempurna, bagian pangkalnya tidak menonjol, kulit buahnya kasar, berwarna abu-abu.

Bedanya, Kawista adalah tumbuhan pendatang dari India, sedangkan Maja Bael termasuk tumbuhan asli Indonesia sekalipun tumbuhan ini lebih dikenal berasal dari India.

Bunga Maja Bael sangat harum. Saat tanaman ini berbunga, aroma wanginya tercium dari jarak beberapa meter.

Diameternya 5 – 12 cm, lebih kecil daripada diameter buah Maja Berenuk yang rasanya pahit, ukurannya bisa sebesar bola voli.

Menelisik Kesakralan “Pahit”

Budaya Jawa mengenal penamaan diri yang diambil berdasarkan nama alam, religi, tumbuhan, dan hewan sebagai simbol dan kesakralan. Hasil karya sastra Jawa Kuna, umumnya cerita-cerita panji, banyak memuat nama tokoh yang menggunakan nama diri dari nama hewan. Di antaranya : Banyak Kapuk, Gagak Sumiring, Kebo Amiluhur, Kebo Anabrang, Kebo Ijo, Kebo Kanigara, Kebo Mundarang, Kidang Glatik, Kidang Walangka, Lembu Sora, Ranggalawe (Rangga berarti kuda atau kijang dan Lawe merupakan sinonim dari wenang, yang berarti 1. “benang”-denotasi, dan 2. “kekuasaan” atau “kemenangan”-konotasi) Rangga Warsita (Kuda atau Kijang yang Cerdas / Suka Mempelajari), Gajah Mada (Orang Kuat dari Desa Maddha), Hayam Wuruk (Ayam Terpelajar), Mahesa Wong Ateleng (tokoh dalam Pararaton, putra Ken Arok dan Ken Dedes, pendiri KerajaanTumapel (Singhasari). Menurut Negarakertagama tokoh ini bernama asli BhataraParameswara, ayah Narasinghamurti, leluhur raja-raja Majapahit).

Selain nama diri, nama tempat menggunakan nama tumbuhan yang banyak tumbuh di area yang dimaksud. Kemudian diikuti dengan sifat dari tumbuhan tersebut. Penamaan ini berkaitan dengan simbol, kesakralan, dan filosofi warga setempat. Sebagai contoh Kerajaan Majapahit, nama “Majapahit” yang lagi kita bicarakan ini.

Toponimi adalah studi yang membahas nama-nama geografis, asal-usul nama tempat, bentuk, dan makna nama diri, terutama nama orang dan tempat. Penamaan bersifat arbitrer karena tercipta atau keputusan berdasarkan kemauan dan kesepakatan masyarakat setempat. Lalu bagaimana halnya dengan sifat “pahit” yang melekat pada “majapahit”? Ternyata ada dua versi dalam menginterpretasi sifat “pahit”.

Versi Pertama. Saat para pengikut Raden Wijaya lapar dan haus sewaktu membuka Tanah Tarik, mereka makan buah maja yang rasanya pahit. Kemudian mereka sepakat memberi nama Tanah Tarik sebagai Majapahit.

Versi Kedua. Kata “pahit” dalam bahasa Jawa diucapkan “pait” atau “pawii” yang berarti “pahit” (makna utama) dan “modal” (makna sampingan). Dengan demikian “maja” dijadikan modal karena kesakralannya. Pait getir pahit dahulu, manis kemudian

Lalu bagaimana kisah buah Maja Bael yang rasanya pahit sebagai cikal bakal nama Majapahit? Menurut DR. Ir. Iwan Hilwan Ahli Dendrologi (Ilmu Pohon),”Sejatinya buah Maja Bael (Aegle marmelos) berasa manis. Kemungkinan yang mereka makan adalah buah Maja Bael yang masih muda atau mentah sehingga rasanya pahit.”

Guru Galib hanya bisa membayangkan pahitnya, sepahit Bratawali (Tinospora cordifolia) ataukah Mahoni (Swietenia macrophylla)? Sepahit mentimun (Cucumis sativus) ataukah Pare (Momordica charantia L.)? Sepahit Sambilata (Andrographis paniculata) ataukah Temu ireng (Curcuma aeruginosa)? Keenam tumbuhan ini berasa pahit karena adanya kandungan alkaloid (kokulin, pikrotoksin, pikroretin, palmatin, kolumbin, saponin, cucurbitacin, quinine, dan kurkumin). Dan yang tidak kalah pentingnya yaitu pohon kina. Sebagai tanaman obat yang berasa pahit, Kina (Chinchona spp.) telah lama kita kenal lama. Tanaman ini berasal dari hutan-hutan di Amerika Selatan. Kulitnya yang  banyak mengandung alkaloid dimanfaatkan untuk obat. Kandungan alkaloid kinine bermanfaat untuk penyakit malaria sedangkan alkaloid kinikine dapat digunakan untuk obat penyakit jantung. Pemanfaatan kina semakin berkembang, antara lain sebagai obat anti kejang otot, pembuatan tamiflu obat flu burung, sebagai katalis yang efektif serta untuk industri muniman ringan, biopestisida, dan kosmetika.

Namun, Guru Galib membayangkan manisnya buah Maja Bael (Aegle marmelos) semanis saudaranya, yaitu buah Kawista (Limonia swingle). Sewaktu usia muda, ia pernah makan buah Kawista, dan minum minuman bersirup buah Kawista. Aroma cola itu masih tersimpan dalam memorinya. Aroma harum manis seperti perpaduan antara bunga mawar (Rosa hybrida) dan buah sawo manila (Manilkara zapota). Terbayang rasa original yaitu rasa asli dari bahan baku apa adanya tanpa penambahan rasa lain. Rasa enak, manis, dan segar  yang khas.

Istilah “cola” meminjam rasa dari Kacang Kola (Cola acuminata, Cola nitida, atau Cola Vera). Kacang ini genus asli hutan hujan tropis di Afrika. Panjang buah kacang kola yang dihasilkan tiap pohonnya adalah 13 cm dan lebar 7 cm. Ketika matang pod atau buahnya akan terbuka sendiri dan memperlihatkan isinya yaitu biji kacang kola yang bisa saja berwarna putih, abu-abu kemerahan, atau cokelat. Namun, setelah dikeringkan, warnanya menjadi merah kecokelatan. Dalam satu buah kola terdapat sekitar 12 biji. Bijinya terasa pahit ketika masih segar, tetapi akan menjadi semakin aromatik jika semakin lama disimpan, baunya khas minuman Coca Cola

Di mana Maja Bael ditemukan? Aegle (Rutaceae) marmelos (L.) Correa T. bisa ditemukan di : 1. Kebun Raya Bali, 2. Kebun Raya Purwodadi Jalan Raya Surabaya – Malang KM. 65, Sembung Lor, Purwodadi, Kecamatan Purwodadi, Pasuruan, Jawa Timur, 67163. Phone : wa.me/6281197115900

Email: info@kebunraya.id, dan 3. Kebun Raya Bogor.

Harapan yang sama, semoga kelak kita bisa menikmati buah Maja Bael semudah kita menemukan buah mentimun di pasar tradisional maupun modern, dan rasanya manis menyehatkan. Dengan kata lain, bukan hanya bernilai historis tinggi bagi Indonesia, tetapi tumbuhan dan buah Maja Bael secara massal dibudidayakan sehingga menjadi komoditas buah yang unik menarik.

Jika kawista dan buahnya menjadi tanaman dan buah khas Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, sudah semestinya Maja Bael dan buahnya menjadi tanaman dan buah khas mengemban ikon Majakarta (Mojokerto) baik Kota maupun Kabupaten. Bukan simpalak (bintaro) dan trembesi yang tumbuh subur di mana-mana. 

Menariknya (untuk dikaji) bahwa logo Kota Mojokerto dan Kabupaten Mojokerto terdapat pohon, buah, dan daun maja. Yang jadi pertanyaan ialah apakah yang dimaksudkan dalam kedua logo tersebut Maja Bael (Aegle marmelos) ataukah Maja Berenuk (Crescentia cujete). Pada tahun 1970-an, Guru Galib pernah singgah di Kantor Kota Mojokerto. Di halamannya tumbuh pohon maja berukuran besar dan lagi berbuah. Ia memastikan pohon tersebut adalah pohon Maja Berenuk dan bukan pohon Maja Bael!

Menariknya di Kabupaten Mojokerto nama desa yang menggunakan kata “maja” (mojo) terdapat di sejumlah kecamatan, yaitu Kecamatan Bangsal (Desa Mojotamping), Kecamatan Dlanggu (Desa Mojokarang), Kecamatan Jatirejo (Desa Mojogeneng), Kecamatan Jetis (Desa Mojolebak, Desa Mojorejo), Kecamatan Kemlagi (Desa Mojodadi, Desa Mojodowo, Desa Mojogebang, Desa Mojojajar, Desa Mojokumpul, Desa Mojokusumo. Desa Mojopilang, Desa Mojorejo, Desa Mojosarirejo, Desa Mojowatesrejo, Desa Mojowiryo, Desa Mojowono), Kecamatan Mojosari (Desa Mojosari, Desa Mojosulur), Kecamatan Ngoro (Desa Mojokembang), Kecamatan Pungging (Desa Mojorejo), Kecamatan Sooko (Desa Mojoranu). Menariknya lagi bahwa kecamatan yang paling banyak “desa mojo-nya” adalah Kecamatan Kemlagi yang paling dekat dengan Alas Tarik.

Kemudian di Kabupaten Jombang, berada di Kecamatan Bandar Kedung Mulyo (Desa Mojokambang), Kecamatan Bareng (Desa Mojotengah), Kecamatan Jombang (Desa Mojongapit), Kecamatan Mojoagung (Desa Mojotrisno), Kecamatan Mojowarno (Desa Mojoduwur, Desa Mojojejer, Desa Mojowangi, Desa Mojowarno), Kecamatan Ngusikan (Desa Mojodanu), Kecamatan Tembelang (Desa Mojokrapak). Sedangkan di Kabupaten Sidoarjo di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Wonoayu (Desa Mojorangagung), dan Kecamatan Krembung (Desa Mojoruntut).

Di Ngawi terdapat sejumlah desa yang menggunakan nama “maja”, yaitu Majamanis-Kecamatan Kwadungan, Majareja-Kecamatan Ngawi, Majasem (Majaasem)-Kecamatan Kendal, dan Maja-Kecamatan Bringin. Perlu observasi lebih lanjut terkait keberadaan Maja Bael di desa-desa ini. Juga semoga warga Ngawi kelas bisa menikmati buah Maja Bael.

Alas Ketonggo (Alas Katangga) adalah bagian dari kawasan hutan di kaki Gunung Lawu. Hutan seluas 4.836 m²
ini berada di Desa Babadan, Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Di area ini diyakini sebagai petilasan raja terakhir Kerajaan Majapahit, Prabu Brawijaya V. Setidaknya ada sembilan petilasan yang berada di kawasan tersebut, salah satu di antaranya ialah Palenggahan Agung Srigati. Sebagai salah satu destinasi wisata di Ngawi, area di sekitarnya layak ditanami pohon Maja Bael (Aegle marmelos) dan berdiri kios-kios yang menjajakan jajan pasar, buah-buah, plus buah Maja Bael.

Pangkur-Ngawi, 20230125.144407.03.48

Penulis tinggal di Pangkur, Budayawan, di GPMB Ngawi sebagai Penasihat.