Napak Tilas Petilasan

Napak Tilas Petilasan

Januari 12, 2023 0 By Kusfandiari MM Abu Nidhat

Estuman Kusfandiari MM Abu Nidhat

Kata “petilasan” (bahasa Jawa) berasal dari kata dasar “tilas” mendapat konfiks “pe-…-an”). Kata dasar “tilas” berarti “bekas” atau “jejak”. Dengan demikian kata bentukan “petilasan” menunjuk pada suatu tempat yang pernah disinggahi (untuk beristirahat dalam pengembaraan, tempat bertapa), atau didiami (tempat tinggal) oleh seseorang (tokoh penting) dalam waktu yang relatif lama, tempat terjadinya peristiwa penting, atau—terkait dengan legenda—tempat moksa (tiba-tiba raib tanpa pesan).

Beragam petilasan yang tersebar di manapun berada  bentuknya hampir seragam, yakni menyerupai makam. Di situ terdapat batu bata yang ditumpuk, lengkap dengan nisan. Dipastikan tidak ada jenazah (jazad) yang dikubur. Salah satu alasan atau ciri khas yang mengemuka bahwa siapapun akan takut untuk membongkarnya.

Biasanya yang dikuburkan di dalam petilasan berupa benda-benda yang pernah dimiliki tokoh terkenal dan memiliki pengaruh pada masa lalu, seperti senjata, tombak, keris, harta benda, pakaian, bahkan bagian tubuh seperti rambut. Intinya petilasan dibangun sebaik mungkin sebagai upaya tempat itu dikeramatkan (dimuliakan).

Selain itu, di zaman penjajahan Belanda, petilasan dibuat hanya sekedar mengelabui atau menyamarkan para serdadu Belanda. Biasanya mereka mengincar dan memburu benda-benda berharga milik tokoh berpengaruh dengan maksud mengurangi kewibawaan atau melumpuhkan kekuatan sang tokoh. Warga setempat yang diiterogasi dengan entengnya mengatakan bahwa di situ hanya dimakamkan jenazah seorang warga biasa, dan atau bukan harta benda milik sang tokoh.

Ada petilasan yang diduga di dalamnya tidak ada barang-barang berharga. Petilasan hanya dibangun untuk mengenang perjalanan atau pengembaraan sang tokoh. Di dunia modern, sang tokoh adalah public figure yang diidolakan. Kalau sudah diidolakan, apa saja yang melekat di diri sang tokoh bakal jadi bahan pembicaraan bahkan ada kecenderungan untuk diikuti atau ditiru.

Sebagai tempat yang dimuliakan, petilasan juga berfungsi sebagai tempat bertapa atau bersemedi. Di situs tertentu bahkan bisa ditemukan belasan petilasan di mana di masa lalu ada sejumlah tokoh yang berperan besar dalam membangun peradaban. Artinya harus ada tokoh yang mampu menggerakkan warga termasuk sanak keluarganya. Tokoh-tokoh yang ada secara luar biasa visioner memberikan gambaran tentang kemajuan dan kesejahteraan yang perlu dicapai. Mereka punya kemampuan untuk mengendalikan perundingan dan menyampaikan ajaran kebaikan.

Kalaupun ada keyakinan bahwa di suatu petilasan diyakini warga setempat ada beragam peralatan perang yang dikubur,  hal itu merupakan keyakinan yang tidak bisa diusik atau diganggu gugat. Sebaliknya, kalaupun ada yang meragukan bahwa di dalam petilasan yang dimaksudkan tidak ada barang satupun dikubur, itupun sah-sah saja. Yang penting masing-masing bisa menjaga kerukunan dan tidak saling mengganggu.

Suatu ketika Guru Galib terlibat dalam wisata studi tiru. Salah satu di antaranya, rombongan sepakat untuk mengunjungi situs petilasan. Guru Galib dicekal untuk masuk ke area tersebut. Hal ini gegara ia mengenakan pakaian yang tidak lazim. Ia memakai pakaian ala Cowboy Texas. Petugas minta maaf sekaligus menghadangnya. Kecewa sih tidak, hanya saja jadi pelajaran buat panitia wisata, jika melakukan studi tiru hendaklah disesuaikan dengan tempat yang dituju. Waktu itu bukan hanya Guru Galib yang tampil beda karena memang suasananya nyantuy tanpa beban.

Ada juga, yang oleh perkembangan zaman,  petilasan mengalami perluasan di mana di sekitarnya jadi area permakaman keluarga tertentu. Yang penting ada kesepakatan warga dan pemerintahan setempat.

Istilah berikutnya yang masih berkaitan, yaitu “napak tilas”. Napak tilas adalah kegiatan jalan kaki yang dilakukan untuk mengenang berbagai kejadian di masa lalu. Napak tilas yang dilakukan terkait dengan nama tokoh, nama tempat, nama benda, atau segala sesuatu yang dibendakan.

Sejumlah komunitas menyelenggarakan kegiatan napak tilas ini sebagai bentuk penghormatan sekaligus kegiatan bernilai sejarah. Ada beberapa tempat napak tilas yang dikeramatkan oleh warga setepat karena bernilai filosofi, pantangan, serta syarat yang harus dijaga dan dipenuhi.

Secara etimologi, frasa “napak tilas” terdiri dari dua kata, yakni “tapak” yang berarti “kaki”, seperti yang dikenal umum “telapak kaki”, dan “tilas” yang berarti “bekas”. Merujuk pada definisi ini “napak tilas” berarti “menelusuri jejak telapak kaki.”

Sebagai analogi, seorang pemburu yang berpengalaman bisa mengenali ragam bekas jejak kaki hewan-hewan yang ada di hutan. Terlebih hutan yang ada tergolong hutan basah. Setelah bisa dipastikan sebagai jejak seekor kijang, ia mengikuti jejak itu. Sesampai di salah salah satu perdu belantara, ia melihat ada yang bergerak dan ia bersiap-siap memburunya.

Napak tilas, awalnya merupakan kegiatan berjalan kaki dalam upaya mengikuti bekas jejak yang pernah dilalui oleh seseorang, pasukan, dan sebagainya untuk mengenang perjalanan pada masa perang dan atau sejarah masa lalu.

Napak tilas adalah menelusuri jejak-jejak seseorang yang pernah mengukir prestasi, berjasa membangun karya dan peradaban di tempat yang dimaksud dan bisa dinikmati warga setempat. Napak tilas yang dilakukan untuk mengingatkan kembali perjuangan para pendahulu kepada generasi selanjutnya.

Dari hasil napak tilas diharapkan para peserta menerima dan memiliki pengetahuan yang cukup dan relevan, yang kelak bisa diterapkan di tempat asalnya. Dengan begitu, mereka menghormati, mengikuti teladan yang diberikan, bahkan mampu menghidupkan kembali semangat juang misalnya melestarikan kearifan lokal.

Napak tilas bukan lagi hal asing untuk diselenggarakan. Komunitas ragam apapun euforia menyelenggarakan kegiatan ini dengan tujuan yang berdasarkan proposal yang telah dibuat dan  ditetapkan. Inisiasi telah dituangkan selengkapnya. Bahkan ditetapkan pula tokoh setempat selaku narasumber dengan tujuan agar para peserta memperoleh pengetahuan tentang latar belakang sejarah petilasan yang ada.

Hal yang perlu digarisbawahi oleh Guru Galib dalam esai ini, ialah apalah artinya diselenggarakan acara napak tilas yang pada akhirnya berorientasi bisa mengeruk keuntungan semata, sementara para pesertanya jadi semacam korban yang tidak tahu apa-apa atau tidak ada perubahan pemahaman.

Kemiri- Magelang, 20230112.14440619.04.07

Penulis tinggal di Pangkur, Budayawan, di GPMB Ngawi sebagai Penasihat.