Diseminasi Vs Disrupsi Bagian 2

Diseminasi Vs Disrupsi Bagian 2

Desember 29, 2022 0 By Kusfandiari MM Abu Nidhat

Estuman Kusfandiari MM Abu Nidhat

Pada esai bagian 1, secara umum didefinisikan terkait diseminasi dan disrupsi. Bagi Guru Galib, kedua istilah ini menarik untuk dikupas meski dengan cara pandang yang sederhana dan pragmatis.

Dulu, wartawan identik dengan mesin tik. Puluhan tahun, mesin tik bertahan dan tidak berbayang bakal tergantikan oleh benda mutakhir yang memberi kemudahan dan kelebihan dalam melakukan pelbagai pekerjaan. Mesin tik pun merambah ke kantor kelurahan, sekolah, kantor, rumah, dan berbagai tempat lembaga resmi.

Masih segar dalam ingatan Guru Galib tentang ia mengikuti kursus mengetik sepuluh jari. Di lembaga kursus tersedia sebelas mesin ketik. Peserta kursus datang dari berbagai kalangan, mulai dari pegawai, pencari lowongan kerja, dan pelajar yang terutama belajar di SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas). Tentu dengan beragam kepentingan masing-masing. Bunyi “tik…tik…tik…” yang terjadi khas dari “pemukul huruf” yang menimpa kertas yang terpasang di silinder mesin ketik, sewaktu jari-jemari tangan menyentuh tombol-tombol yang ada. Para “pemukul huruf” menimpa kertas secara bergantian sesuai dengan keinginan pengetik mau menulis kata, tanda baca, dan sebagainya. Aktivitas ini meninggalkan jejak berupa tulisan yang bermakna dan berdaya guna, untuk keperluan tertentu.

Singkat cerita, Guru Galib telah memiliki keterampilan mengetik sepuluh jari. Masih terpakaikah di era digital sekarang ini? Ternyata masih terpakai! Kalau dulu ia mampu mengentakkan tombol-tombol di atas papan qwerty mesin tik sebanyak 130 entakan per menit atau meninggalkan jejak 130 karakter dalam satu menit di atas kertas, sekarang sewaktu menggunakan komputer atau laptop kurang dari itu. Hal ini terutama seiring bertambahnya usia. Namun, ada kenikmatan baru, yaitu dengan komputer atau laptop ia tidak lagi menggunakan st*po atau ti*ex untuk menutup ketikan yang keliru dan menggantikan atau menindas dengan tulisan yang baru yang benar. Ia cukup melakukan tindakan dengan menekan tombol delete atau backspace pada tulisan yang bersangkutan. Terhapuslah.

Guru Galib bisa memberikan contoh bahwa stipo dan tipex telah mengalami disrupsi berbarengan dengan pensiunnya mesin ketik. Sedangkan memori mengetik sepuluh jari masih tersimpan dan masih bisa dimanfaatkan sepanjang ia asyik menulis di komputer atau laptop. Kemudian beralih di ponsel. Ia tidak lagi menggunakan sepuluh jari. Sementara delapan jari (empat jari kanan dan empat jari kiri) menopang ponsel, dua ibu jarinya menyentuh ringan papan qwerty yang terpampang. Dengan lincahnya ia mengetik “tanpa harus matanya jelalatan mencari lokasi karakter” yang disentuh. Ia hafal betul lokasinya. Papan qwerty tidak mengalami disrupsi, hanya berubah bentuk dan sistem. Berubah dari yang kasat mata menjadi virtual. Berubah dari mekanik menjadi digital elektronik.

Guru Galib benar-benar bisa mengikuti perubahan yang terjadi dan bisa memanfaatkan teknologi yang berkembang. Jika pun suatu saat nanti, ada scrolltop (laptop yang digulung), ia tetap bisa “menguasai” dan familier dengan teknologi terbarukan. Ia bisa beradaptasi dengan paradigma diseminasi.

Kini mesin tik yang terlalu berarti di masa lalu jadi barang antik atau kuno. Para wartawan dan sastrawan “ikhlas” bercerai dari mesin tik. Guru Galib dan mereka menjalani hidup menghindari segala peristiwa berkeringat. “Pemukul huruf” sering membuat para pengguna berkeringat dan capek.

Komputer mampu memudahkan penulis dalam mengolah kata, mengeditnya. Para tukang selip dan tukang menghaluskan bahasa dan orang-orang sinting pecinta keakuratan gandrung terhadap barang canggih yang satu ini. Di depan komputer, ia melakukan kerja pemangkasan dan pembuangan kata risiko dari hasrat mengedit tulisan. Ia tergoda menaruh jari di papan dengan tulisan: delete. Ia bergirang dengan komputer melebihi saat menulis tangan atau menggunakan mesin tik.

Kini, kaum perindu mesin tik anggaplah orang-orang keranjingan masa lalu, terpaksa atau tidak terpaksa, memilih mengerjakan segala hal dengan komputer atau gawai. Mereka bakal kerepotan jika nekat menggunakan mesin tik. Kelangkaan telah terjadi. Benda itu nostalgia bagi orang-orang mengenang para sastrawan dan wartawan. Ada yang malah mengaku sudah kehilangan mesin tik, tak mungkin lagi dipamerkan kepada orang-orang untuk sekedar bercerita masa lalu tentang “pemukul huruf” yang mereka anggap terlalu bermakna dalam bingkai nostalgia. 

Hanya yang lagi Guru Galib pikirkan, ke mana gerangan barang-barang yang mengalami disrupsi? Sebagai orang Indonesia, ia membayangkan bahwa saudara-saudara sebangsa setanah air yang suka otak-atik barang rongsokan akan menampung barang-barang itu untuk diolah jadi produk baru yang mungkin jauh dari fungsi semula.

Di era tahun 1970-an marak radio transistor, dengan merek Philips, Ralin, Galindra, dan Cawang. Gelombang radionya ada empat macam, yaitu SW1, SW2, SW3, dan SW4. Menyusul gelombang FM untuk produk baru. Para tetangga menyimak berita dan lagu-lagu. Dinyalakan dengan volume yang hampir penuh, sehingga tetangga lain bisa mendengarkan. Batu baterenya rata-rata berjumlah empat biji, berukuran besar. Jika batu baterenya baru, suara radio terdengar lantang. Namun, jika daya listrik batu batere berkurang, suaranya jadi redup. Pemilik radio biasanya menyiasati dengan membeli satu butir batu batere dan ditandai tanggal pembelian atau pemasangan pada lambung batu batere. Sehingga tampak empat batu batere tersebut untuk antre “disingkirkan” satu per satu, untuk diganti dengan satu batu batere yang baru. Pendeknya radio transistor merupakan media hiburan satu-satunya di kala itu. Berikutnya muncul tape recorder, kemudian gabungan radio dan tape recorder.

 Disusul televisi hitam putih, dengan antena yang tinggi sampai empat pipa atau 24 meter. Kemudian disusul dengan VCR (Video Casette Recorder), perangkat yang terhubung untuk menampilkan audiovisual .

Di Indonesia, siaran TV pertama dilakukan pada 17 Agustus 1962, bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-17. Pada saat itu, siaran hanya berlangsung mulai pukul 07.30 WIB sampai pukul 11.02 WIB untuk meliput upacara peringatan hari Proklamasi di Istana Negara.

Berdirinya Televisi Republik Indonesia (TVRI) diawali Indonesia jadi tuan rumah Asian Games ke-IV di Stadion Utama Senayan. Pada 24 Agustus 1962 TVRI menyiarkan secara berlanjut berbagai pertandingan. Siarannya mampu menjangkau seluruh provinsi di Nusantara, yang pada saat itu masih 27 provinsi.

Acara yang pertama tayang yakni siaran langsung upacara pembukaan Asian Games IV dari Stadion Utama Gelora Bung Karno. Kemudian pada 20 Juli 1973 TVRI menayangkan siaran Dunia dalam Berita sebagai program berita yang sangat terkenal dan digemari masyarakat. Program siaran ini ditayangkan setiap Senin sampai Jumat pukul 21.00 WIB dengan durasi 30 menit.

Iklan pertama di TV Indonesia muncul pada 1963 dan masih berupa slideshow dari iklan cetak. Produk yang diiklankan pada saat itu adalah iklan Hotel Tjipajung, produk alat-alat berat dan truk dari PT Masayu, susu Indomilk, susu Sedaaap, bir Anker, rokok Mascot dan motor Vespa. Menjelang akhir 1970-an iklan seperti yang dikenal sekarang mulai sering bermunculan.

Cara masyarakat zaman dulu menonton siaran televisi pun tergolong unik. Tuan rumah menggelar tikar pandan di halaman rumah atau rumah depan. Dengan senang hati, tuan rumah menaruh televisinya. Para tetangga dan juga mungkin orang di luar desa berdatangan untuk nonton bareng, meski dulu belum dikenal akronim nobar. Bahkan ada yang rela membuka rumahnya sampai siaran televisi selesai sekitar pukul 00.00 WIB, terutama di malam Minggu atau saat ada siaran yang menarik.

Waktu itu belum ada jaringan listrik yang masuk ke pelosok kampung. Untuk menyalakan televisi tersebut dibutuhkan aki yang harus disetrum (belum ada istilah di-charge/dicas) secara rutin. Jika daya listrik aki habis, maka gambar yang tampil di layar kaca akan bergoyang, bruwet, tinggal seluas kartu undangan, dan kemudian menghilang. 

Zaman dulu, orang menggunakan alat komunikasi berupa  Surat, Wartel (Warung Telepon), dan Telepon umum. Sedangkan Telpon Ruman tidak semua rumah tangga memiliki. Demikian pula Pager sebagaialat komunikasi pribadi untuk menyampaikan dan menerima pesan pendek, yang merupakan cikal bakal ponsel dengan fitur short message service (sms).

Seiring dengan terdistrupsinya barang-barang djadoel tersebut, generasi milenial tidak akan mengenal istilah-istilah : transistor, tabung sinar katoda, dial, tangga lagu, piringan hitam. Meskipun demikian, ada kalangan tertentu yang berusaha memburu “barang-barang antik” tersebut. Kalangan entertainmen, misalnya, menaruh barang-barang tersebut sebagai bagian dari interior yang bernuansa vintage. Ada juga untuk keperluan pembuatan sinetron atau film yang bernuansa “djadoel” (ejaan sebelum tahun 1972, yang memang memberi kesan kekunoannya!).  

Pangkur-Ngawi, 20221223.14440529.07.11

Penulis tinggal di Pangkur, Budayawan, di GPMB Ngawi sebagai Penasihat.